Di usiaku yang ke 14 tahun ini, aku tumbuh layaknya remaja lainnya, rambutku terurai panjang, tubuhku tinggi dan kulitku bewarna sawo matang. Aku memang tak jauh berbeda dengan teman-teman sebayaku. Namun, ada satu hal yang membuatku minder. Karena aku sejak kecil sudah yatim. Ayahku meninggal akibat kecelakaan 12 tahun yang lalu. Aku tak pernah bertatap muka dengan ayahku, hanya ada satu foto Beliau yang masih disimpan di album foto milik ibuku. Tentu saja aku selalu merindukan sosok ayah disampingku, meskipun Ibuku begitu menyayangiku, namun aku tetap rindu dengan sosok ayahku. Aku ingin merasakan kasih sayang seorang ayah layaknya teman-temanku yang lainnya. Itulah sebabnya aku jadi mudah marah dan tidak penyabar.
Malam ini seperti biasanya, aku tinggal dirumah bersama ibuku. Ibuku berkulit putih, berkacamata minus dan rambutnya pendek model bob jaman dulu. Ibuku memang baik padaku. Tapi ada satu hal yang kubenci darinya. Ibuku selalu menegurku untuk belajar di malam hari.
“Udah belajar belum Sal?” tanya ibu padaku.
“Belum. Aku males belajar! Aku mau nonton TV aja. Aku capek Bu.” Jawabku.
“Ee.. Ya belajar dulu.. Nonton TV nya nanti saja.” Nasehat ibu padaku.
“Aku tu capek bu! Jangan dipaksa dong! Mendingan ibu bikinin aku mie goreng, cepetan! Aku laper banget nih!” Bentakku pada Ibu. Ibu cuma diam dan berlalu ke dapur. Lima menit kemudian aku kembali membentak ibuku.
“Kok lama banget? Mana mie gorengku?” tanyaku membentak.
“Bentar Sal, Ibu lagi nyuci piring.” Kata Ibu lembut.
“Buruan dong! Salsa udah laper, Bu!” teriakku. Beberapa menit kemudian, ibu menghampiriku dan membawakanku sepiring mie goreng. Aku tersenyum dan langsung merebut mie itu dari tangan ibuku. Karena terburu-buru, mangkuk yang berisi mie itu jatuh.
“Pyaaaaaarrr...” Mangkuk untuk wadah mie tadi pecah, tanganku berdarah terkena serpihan kaca dari piring.
“Aauuu... sakiiitt...” rintihku kesakitan.
“Astagfirullah Salsa? Sini ibu obatin, bentar ya ibu ambil obat merah dulu.” Ibu bergegas mengambil obat merah di atas meja. Ibu mengobatiku perlahan. Tetes demi tetes obat merah langsung menyentuh tanganku yang terluka. Sakit rasanya. Ibu seakan tahu isi hatiku. Tanganku yang terluka tadi dibalutnya dengan sedikit kapas dan perban.
“Ihhh... pelan pelan dong bu !”
“Iya Sal, ini juga sudah pelan kok.Ya sudah kamu tidur dulu saja, biar cepat kering lukanya.”
Keesokan harinya aku beraktivitas seperti biasa. Sholat, mandi, pakai baju, sarapan dan berangkat sekolah diantar oleh Ibu menggunakan motor tua miliknya. Saat perjalanan, aku bilang pada ibuku agar ibu menjemputku tepat jam tiga sore. Ibu mengiyakan perkataanku. Sesampainya disekolah, aku langsung turun dari motor dan menjabat tangan ibuku. Aku dan Ibu saling melempar senyum. Sepertinya ibu tak rela meninggalkanku sendirian disekolah. Tapi aku tak mempedulikannya, aku langsung berlari menuju ke kelasku. Kelas 8 G.
Sorenya setelah mengikuti bimbel di sekolah, aku menelepon ibuku dan menyuruhnya menjemputku disekolah. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Hampir satu jam aku menunggu, namun ibuku tak kunjung datang. Gelisah rasanya. Biasanya ibuku justru menjemputku lebih awal. Satu per satu temanku pulang. Hanya tersisa aku dan temanku Rini. Aku semakin gelisah. Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi pada ibuku? Ahh... aku tak tahu.Sekitar dua puluh menit kemudian, ada seorang guru piket berteriak-teriak menyebut namaku. Aku kaget bercampur bingung.
“Ada apa Pak?” tanyaku sambil berlari menuju guru piket tersebut.
“Kamukah yang bernama Salsa?” tanyanya.
“Iya Pak saya Salsa. Ada apa ya Pak?” tanyaku keheranan.
“Saya baru saja menerima telepon dari Polres. Katanya ibu kamu mengalami kecelakaan saat akan menjemputmu.” Jelas guru piket tersebut. Aku kaget bukan main. Mulutku, tanganku, badanku seakan diam membisu sulit digerakkan. Tiba-tiba semuanya gelap. Aku jatuh pingsan. Rini dan guru piket itu langsung membawaku ke ruang UKS. Selang beberapa menit, aku mulai membuka mataku secara perlahan. Pandanganku agak kabur saat itu. Aku melihat Rini duduk disamping tempat tidurku.
“Ri..ni?” panggilku lirih.
“Alhamdulillah..Kamu sudah sadar Sal?” tanya Rini padaku.
“Iya Rin. Dimana Aku? Mana Ibuku?” kataku sambil mencoba bangkit dari tempat tidurku.
“Jangan banyak bergerak dulu Sal, aku yakin Ibumu akan baik-baik saja.” Kata Rini menenangkanku.
“Enggak!Aku mau ketemu ibuku!” teriakku sambil bangkit dan berlari mencari guru piket yang tadi.
“Pak, Ibu saya dirawat dirumah sakit mana? Tolong antarkan saya kesana Pak, saya mohon!” rengekku sembari menangis. Guru piket itu hanya mengangguk tanda setuju. Lalu Rini menggapai tanganku dan menggandengku menuju mobil milik sekolah. Kami bertiga bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Saat perjalanan, aku tak henti-hentinya meneriakkan nama ibuku dan terus menangis dan membacakan doa agar ibuku selamat. Perasaanku makin tak karuan. Setengah jam kemudian, kami sampai dirumah sakit tempat ibuku dirawat. Aku langsung berlari mengikuti seorang perawat yang menunjukkanku dimana letak kamar ibuku. Namun, aku tidak diperbolehkan masuk karena keadaan ibuku yang sedang kritis. Aku hanya dapat mengintipnya dari jendela. Dari sini aku dapat melihat Ibuku tergeletak lemas di atas tempat tidur, wajahnya berlumuran darah. Begitu juga tangan, kaki dan perutnya. Dihidungnya terpasang alat bantu pernafasan. Di dalam sana ada seorang dokter dibantu tiga perawat lain yang sedang memperjuangkan nyawa ibuku. Tiba-tiba nenekku datang. Seketika tangisanku semakin menjadi-jadi.
“Neeeeneeeekk?” teriakku sambil menangis. Nenek langsung memelukku.Beberapa menit kemudian, seorang dokter yang merawat ibuku keluar. Dari raut wajah dokter itu aku dapat melihat akan ada sesuatu yang terjadi pada ibuku. Kuusap kedua mataku yang merah lalu aku berdiri dan mendekati dokter itu.
“Dok, gimana keadaan Ibu saya?” tanyaku sambil masih menangis.
“Maaf Nak, ibumu sudah tidak bisa diselamatkan lagi.” Aku berteriak kencang. Bahkan seisi rumah sakit mendengar teriakanku. Aku tidak peduli. Aku buru-buru masuk ke ruang tempat ibuku dirawat.
“Ibuuuuuuuuuu... bangun Bu... ! Jangan tinggalin Salsa!” jeritku.
“Tenang Sal, biarkanlah ibumu menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Ikhlaskanlah kepergian ibumu.” Kata Nenek menasihatiku. Aku terdiam. Beberapa orang perawat lalu masuk kekamar ibuku dan membawa ibuku kesebuah ruangan. Entah apa nama ruangan itu aku tak tahu. Perawat itu menyuruhku duduk menunggu diluar ruangan. Akupun mengangguk. Setelah itu jenazah ibuku langsung dibawa pulang kerumah.
Di rumahku di gang Mawar, terlihat puluhan orang berpakaian hitam dan putih berduyun-duyun menghampiri mobil ambulance yang membawa jenazah ibuku. Nenek menuntunku turun dari mobil ambulance. 2 orang perawat langsung menurunkan jenazah ibuku dan membawanya ke dalam rumah untuk dimandikan, dikafani, dan disholatkan.
Setelah semuanya usai, jenazah ibuku siap untuk dimakamkan. Tak henti-hentinya aku menangisi kepergian ibuku. Badanku lemas sekali. Aku kembali pingsan saat melihat ibuku akan dikubur. Nenek dan tanteku segera menggendongku dan membawaku pulang kerumah. Tanpa sepengetahuanku, jenazah ibuku telah selesai dikubur di liang lahat.
2 jam kemudian, aku siuman. Aku kembali berteriak memanggil-manggil nama ibuku.
“Ibu.. Ibu...” teriakku mencoba bangun dari tempat tidur.
“Ibumu sudah beristirahat dengan tenang di alam sana, Sal.” Jawab Nenek yang duduk di sampingku.
“Aku mau ketemu Ibu, Nek. Ibu gak mungkin ninggalin aku secepet ini. Ibu meninggal gara-gara aku Nek. Ibu.. Ibu...” ucapku sambil terus menangis dan berteriak memanggil nama ibuku.
“Ikhlaskan kepergian ibumu, Sal. Kalau kamu ingin bertemu dengan ibumu, Nenek akan mengantarkanmu ke makam ibumu. Ibumu meninggal karena kehendak Allah, bukan karena kamu, Salsa. Sudah, berhentilah menangis. Matamu bengkak dan merah tuh.” Jawab Nenek sambil mengelus-elus kepalaku.
“Ayo Nek. Ayo. Antar aku kesana!” kataku bersemangat. Nenek pun mengantarkanku ke makam ibuku. Kupanjatkan beberapa doa untuknya. Telah ku ikhlaskan kepergian ibuku. Semoga ibuku tenang di alam sana.
hikss :"( terharu ..
BalasHapusUmbh , mana pake nama ku jugak :""D
hihihi makasih, iya kebetulan pake namamu :D
BalasHapus