Hari
ini Mama mendapat telpon dari Paman. Paman bilang, Nenek sedang sakit dan
menyuruh Mama pergi ke Semarang secepatnya. Akhirnya mendadak, Mama dan kak
Tasya pergi ke Semarang untuk menjenguk Nenek yang sedang sakit. Sebenarnya aku
ingin sekali ikut. Sayangnya, lusa aku masih ada ulangan matematika. Terpaksa,
keinginan untuk ikut ke rumah Nenek aku pendam dalam-dalam. Beruntung, Amira
sahabatku menawari aku untuk menginap dirumahnya selama Mama dan Kak Tasya di
Semarang. Sontak, aku langsung mengiyakan tawaran Amira.
Tak terasa, sudah 2 hari aku menginap di rumah Amira.
Namun, malam ini ada yang berbeda dengan keluarga Amira. Saat makan malam,
Tante Lusi Mama Amira, Kak Doni kakak Amira, dan Amira terlihat sangat sedih.
Aku bingung. Setahuku, biasanya mereka selalu ceria. Bahkan seusai makan malam.
Tante Lusi dan Kak Doni buru-buru masuk ke kamar mereka masing-masing.
“Mir, ada apa dengan Mamamu dan Kak Doni? Apa mereka
marah padaku?” tanyaku merasa bersalah.
“Enggak, Va.” Jawab Amira singkat.
“Kalau
enggak marah, terus apa, Mir?” tanyaku kebingungan.
“Gini
Va, hari ini tepat satu tahunnya ayahku meninggal. Tentu saja keluargaku
sedih.” Jawab Amira tertunduk sambil mengusap air mata di pipinya yang sejak
tadi menetes.
“Oh, gitu. Sudahlah Mir, jangan bersedih.” Ujarku sembari
menepuk pundak kanannya. Tapi tiba-tiba saja Amira berlari ke kamarnya dan
meninggalkan aku seorang diri di meja makan sembari terus menangis. Aku berusaha
mengejar Amira, tapi Amira sudah terlanjur mengunci rapat pintu kamarnya.
“Mir, buka pintunya! Kamu baik-baik aja kan, Mir?”
tanyaku khawatir sembari terus mengetuk pintu kamarnya dan memanggil-manggil
nama Amira. Namun tak ada sepatah kata pun yang terdengar dari dalam kamar.
Yang terdengar hanya suara tangis kecil Amira dari dalam kamarnya. Suasana
rumah Amira makin sunyi. Karena tak diijinkan masuk ke kamar Amira, aku pun
tertidur pulas di meja makan.
Saat tengah malam, aku terbangun dari tidurku. Aku
mendengar derap suara langkah kaki seseorang yang kedengarannya sedang
menangis. Aku rasa suara itu berasal dari ruang tamu. Perlahan tapi pasti, aku
melangkahkan kakiku menuju ruang tamu. Kudapati sesosok bayangan hitam yang membuat
bulu kudukku merinding dengan hebatnya. Karena takut, kunyalakan lampu di sudut
tembok. Walaupun belum masih agak gelap, mataku terus memperhatikan bayangan
itu.
“Mir, itukah kamu? Sedang apa kamu disini?” tanyaku pelan
sambil terus melangkah mendekati bayangan tadi.
“Iya Va. Ini aku. Mendekatlah, aku sedang sedih.” Ucap
Amira lirih.
“Sedih karena ingat Ayahmu ya, Mir?” tanyaku menyelidik.
“Iya
Va.” Kata Amira pelan.
“Jangan
sedih lagi, Mir. Kalau kamu terus menangis seperti ini, disana ayahmu pasti
juga akan sedih, Mir.” Ujarku berusaha menasehati Amira. Bukannya menjawab,
Amira malah terdiam dan langsung memelukku.
“Mir, kamu tidak apa-apa kan?” tanyaku cemas penuh harap.
Beberapa saat setelah terdiam, Amira kembali berbicara.
“Kamu benar Va. Harusnya aku tidak boleh menangis.
Harusnya aku tabah dan mengikhlaskan kepergian ayahku.” Kata Amira sambil
melepas pelukannya.
“Iya Mir. Kamu harus tetap ceria seperti biasanya.
Meskipun ayahmu telah tiada, tapi lihatlah Daiva sahabatmu masih disini
menemanimu, Mir.” Ujarku berusaha menghibur Amira.
“Makasih ya, Va. Kamu memang sahabat terbaikku.” Ucap
Amira tersenyum.
“Sama-sama, Mir. Sekarang kamu jangan nangis lagi ya? Aku
tidak ingin air matamu menetes lagi.” Rayuku.
“Iya Daiva.” Amira tersenyum. Sekarang, air mata Amira
sudah tidak menetes lagi. Aku senang bisa menghibur sahabatku yang satu ini.
Aku dan Amira pun tersenyum bahagia.