Jumat, 24 Februari 2012

Cerpen : Kepergian Ibuku

      Di usiaku yang ke 14 tahun ini, aku tumbuh layaknya remaja lainnya, rambutku terurai panjang, tubuhku tinggi dan kulitku bewarna sawo matang. Aku memang tak jauh berbeda dengan teman-teman sebayaku. Namun, ada satu hal yang membuatku minder. Karena aku sejak kecil sudah yatim. Ayahku meninggal akibat kecelakaan 12 tahun yang lalu. Aku tak pernah bertatap muka dengan ayahku, hanya ada satu foto Beliau yang masih disimpan di album foto milik ibuku.  Tentu saja aku selalu merindukan sosok ayah disampingku, meskipun Ibuku begitu menyayangiku, namun aku tetap rindu dengan sosok ayahku. Aku ingin merasakan kasih sayang seorang ayah layaknya teman-temanku yang lainnya. Itulah sebabnya aku jadi mudah marah dan tidak penyabar.
      Malam ini seperti biasanya, aku tinggal dirumah bersama ibuku. Ibuku berkulit putih, berkacamata minus dan rambutnya pendek model bob jaman dulu. Ibuku memang baik padaku. Tapi ada satu hal yang kubenci darinya. Ibuku selalu menegurku untuk belajar di malam hari.
“Udah belajar belum Sal?” tanya ibu padaku.
      “Belum. Aku males belajar! Aku mau nonton TV aja. Aku capek Bu.” Jawabku.
      “Ee.. Ya belajar dulu.. Nonton TV nya nanti saja.” Nasehat ibu padaku.
      “Aku tu capek bu! Jangan dipaksa dong! Mendingan ibu bikinin aku mie goreng, cepetan! Aku laper banget nih!” Bentakku pada Ibu. Ibu cuma diam dan berlalu ke dapur. Lima menit kemudian aku kembali membentak ibuku.
      “Kok lama banget? Mana mie gorengku?” tanyaku membentak.
      “Bentar Sal, Ibu lagi nyuci piring.” Kata Ibu lembut.
      “Buruan dong! Salsa udah laper, Bu!” teriakku. Beberapa menit kemudian, ibu menghampiriku dan membawakanku sepiring mie goreng. Aku tersenyum dan langsung merebut mie itu dari tangan ibuku. Karena terburu-buru, mangkuk yang berisi mie itu jatuh.
      “Pyaaaaaarrr...” Mangkuk untuk wadah mie tadi pecah, tanganku berdarah terkena serpihan kaca dari piring.
      “Aauuu... sakiiitt...” rintihku kesakitan.
      “Astagfirullah Salsa? Sini ibu obatin, bentar ya ibu ambil obat merah dulu.” Ibu bergegas mengambil obat merah di atas meja. Ibu mengobatiku perlahan. Tetes demi tetes obat merah langsung menyentuh tanganku yang terluka. Sakit rasanya. Ibu seakan tahu isi hatiku. Tanganku yang terluka tadi dibalutnya dengan sedikit kapas dan perban.
      “Ihhh...  pelan pelan dong bu !”
      “Iya Sal, ini juga sudah pelan kok.Ya sudah kamu tidur dulu saja, biar cepat kering lukanya.”
      Keesokan harinya aku beraktivitas seperti biasa. Sholat, mandi, pakai baju, sarapan dan berangkat sekolah diantar oleh Ibu menggunakan motor tua miliknya. Saat perjalanan, aku bilang pada ibuku agar ibu menjemputku tepat jam tiga sore. Ibu mengiyakan perkataanku. Sesampainya disekolah, aku langsung turun dari motor dan menjabat tangan ibuku. Aku dan Ibu saling melempar senyum. Sepertinya ibu tak rela meninggalkanku sendirian disekolah. Tapi aku tak mempedulikannya, aku langsung berlari menuju ke kelasku. Kelas 8 G.
Sorenya setelah mengikuti bimbel di sekolah, aku menelepon ibuku dan menyuruhnya menjemputku disekolah. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Hampir satu jam aku menunggu, namun ibuku tak kunjung datang. Gelisah rasanya. Biasanya ibuku justru menjemputku lebih awal. Satu per satu temanku pulang. Hanya tersisa aku dan temanku Rini. Aku semakin gelisah. Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi pada ibuku? Ahh... aku tak tahu.Sekitar dua puluh menit kemudian, ada seorang guru piket berteriak-teriak menyebut namaku. Aku kaget bercampur bingung.
“Ada apa Pak?” tanyaku sambil berlari menuju guru piket tersebut.
“Kamukah yang bernama Salsa?” tanyanya.
“Iya Pak saya Salsa. Ada apa ya Pak?” tanyaku keheranan.
“Saya baru saja menerima telepon dari Polres. Katanya ibu kamu mengalami kecelakaan saat akan menjemputmu.” Jelas guru piket tersebut. Aku kaget bukan main. Mulutku, tanganku, badanku seakan diam membisu sulit digerakkan. Tiba-tiba semuanya gelap. Aku jatuh pingsan. Rini dan guru piket itu langsung membawaku ke ruang UKS. Selang beberapa menit, aku mulai membuka mataku secara perlahan. Pandanganku agak kabur saat itu. Aku melihat Rini duduk disamping tempat tidurku.
“Ri..ni?” panggilku lirih.
“Alhamdulillah..Kamu sudah sadar Sal?” tanya Rini padaku.
“Iya Rin. Dimana Aku? Mana Ibuku?” kataku sambil mencoba bangkit dari tempat tidurku.
“Jangan banyak bergerak dulu Sal, aku yakin Ibumu akan baik-baik saja.” Kata Rini menenangkanku.
“Enggak!Aku mau ketemu ibuku!” teriakku sambil bangkit dan berlari mencari guru piket yang tadi.
“Pak, Ibu saya dirawat dirumah sakit mana? Tolong antarkan saya kesana Pak, saya mohon!” rengekku sembari menangis. Guru piket itu hanya mengangguk tanda setuju. Lalu Rini menggapai tanganku dan menggandengku menuju mobil milik sekolah. Kami bertiga bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Saat perjalanan, aku tak henti-hentinya meneriakkan nama ibuku dan terus menangis dan membacakan doa agar ibuku selamat. Perasaanku makin tak karuan. Setengah jam kemudian, kami sampai dirumah sakit tempat ibuku dirawat. Aku langsung berlari mengikuti seorang perawat yang menunjukkanku dimana letak kamar ibuku. Namun, aku tidak diperbolehkan masuk karena keadaan ibuku yang sedang kritis. Aku hanya dapat mengintipnya dari jendela. Dari sini aku dapat melihat Ibuku tergeletak lemas di atas tempat tidur, wajahnya berlumuran darah. Begitu juga tangan, kaki dan perutnya. Dihidungnya terpasang alat bantu pernafasan. Di dalam sana ada seorang dokter dibantu tiga perawat lain yang sedang memperjuangkan nyawa ibuku. Tiba-tiba nenekku datang. Seketika tangisanku semakin menjadi-jadi.
“Neeeeneeeekk?” teriakku sambil menangis. Nenek  langsung memelukku.Beberapa menit kemudian, seorang dokter yang merawat ibuku keluar. Dari raut wajah dokter itu aku dapat melihat akan ada sesuatu yang terjadi pada ibuku. Kuusap kedua mataku yang merah lalu aku berdiri dan mendekati dokter itu.
“Dok, gimana keadaan Ibu saya?” tanyaku sambil masih menangis.
“Maaf Nak,  ibumu sudah tidak bisa diselamatkan lagi.” Aku berteriak kencang. Bahkan seisi rumah sakit mendengar teriakanku. Aku tidak peduli. Aku buru-buru masuk ke ruang tempat ibuku dirawat.
“Ibuuuuuuuuuu... bangun Bu... ! Jangan tinggalin Salsa!” jeritku.
“Tenang Sal, biarkanlah ibumu menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Ikhlaskanlah kepergian ibumu.” Kata Nenek menasihatiku. Aku terdiam. Beberapa orang perawat lalu masuk kekamar ibuku dan membawa ibuku kesebuah ruangan. Entah apa nama ruangan itu aku tak tahu. Perawat itu menyuruhku duduk menunggu diluar ruangan. Akupun mengangguk. Setelah itu jenazah ibuku langsung dibawa pulang kerumah.
Di rumahku di gang Mawar, terlihat puluhan orang berpakaian hitam dan putih berduyun-duyun menghampiri mobil ambulance yang membawa jenazah ibuku. Nenek menuntunku turun dari mobil ambulance. 2 orang perawat langsung menurunkan jenazah ibuku dan membawanya ke dalam rumah untuk dimandikan, dikafani, dan disholatkan.
Setelah semuanya usai, jenazah ibuku siap untuk dimakamkan. Tak henti-hentinya aku menangisi kepergian ibuku. Badanku lemas sekali. Aku kembali pingsan saat melihat ibuku akan dikubur. Nenek dan tanteku segera menggendongku dan membawaku pulang kerumah. Tanpa sepengetahuanku, jenazah ibuku telah selesai dikubur di liang lahat.
2 jam kemudian, aku siuman. Aku kembali berteriak memanggil-manggil nama ibuku.
      “Ibu.. Ibu...” teriakku mencoba bangun dari tempat tidur.
      “Ibumu sudah beristirahat dengan tenang di alam sana, Sal.” Jawab Nenek yang duduk di sampingku.
      “Aku mau ketemu Ibu, Nek. Ibu gak mungkin ninggalin aku secepet ini. Ibu meninggal gara-gara aku Nek. Ibu.. Ibu...” ucapku sambil terus menangis dan berteriak memanggil nama ibuku.
      “Ikhlaskan kepergian ibumu, Sal. Kalau kamu ingin bertemu dengan ibumu, Nenek akan mengantarkanmu ke makam ibumu. Ibumu meninggal karena kehendak Allah, bukan karena kamu, Salsa. Sudah, berhentilah menangis. Matamu bengkak dan merah tuh.” Jawab Nenek sambil mengelus-elus kepalaku.
      “Ayo Nek. Ayo. Antar aku kesana!” kataku bersemangat. Nenek pun mengantarkanku ke makam ibuku. Kupanjatkan beberapa doa untuknya. Telah ku ikhlaskan kepergian ibuku. Semoga ibuku tenang di alam sana.

Rabu, 22 Februari 2012

Cerbung 3#Kenapa Begini ?

Setelah mengeringkan badannya, tiba-tiba HP Rera yang ada di atas tempat tidur berdering. Nadia memanggil.
"Halo?Mau apa kamu nelpon aku?" celetus Rera marah.
"Maafin aku Ra. Aku gak berniat buat ngehianatin kamu. Ini cuma salah paham Ra. Kamu jangan mutusin Miko tanpa alasan gitu aja?" ucap Nadia di balik telepon.
"Salah paham apanya? Jelas-jelas kalau kalian berdua punya hubungan khusus. Apa itu gak cukup buat jadi alasan aku mutusin Miko. Ha?" hardik Rera.
"Tapii Ra..." dan "Tuuutt.." telepon Nadia diputus oleh Rera. Rera enggan berbicara dan mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Karena itu membuat perasaan Rera makin hancur. Rera lebih memilih pergi dari kehidupan Miko daripada harus terus disakiti dan dihianati oleh sahabatnya sendiri. Nadia.
Bahkan saking sakit hatinya, Rera menulis sebuah surat untuk Miko :

Dear Miko,
Sebelumnya aku mau mengucapkan selamat ulang tahun buat Miko mantan pacarku. Hadiah dari aku ada di laci mu bersama surat ini. Aku harap kamu suka dengan hadiahku.
Dan 1 lagi aku berterimakasih untuk hari-hari yang penuh dengan kehadiranmu selama lebih dari 1 tahun ini. Aku bahagia bisa mengenalmu, bisa menghabiskan waktuku bersamamu. Terimakasih sudah mengajarkanku bagaimana cara mencintai. Walaupun akhirnya, kau juga yang mengjarkanku bgaimana cara menyakiti dan hubungan yang sudah kia rangkai selama lebih dari 1 tahun ternyata berakhir sia-sia. Miko yang dulu mencintaiku, ternyata menghianatiku. Sahabatku, Nadia juga demikian. Andai kamu merasakan sakitku seperti apa mungkin kamu akan memilih mengakhiri hidupmu tinimbang harus dirundung rasa sakit. Tapi untungnya aku tidak seperti itu Mik. Ya mungkin, jika diberi kesempatan  untuk berteriak, aku akan teriak sekeras-kerasnya sampai pita suaraku rusak untuk melampiaskan rasa sakitku. Karena rasanya sakit sekali Mik. Tapi sebenarnya aku masih sangat mencintaimu, namun aku tidak bisa meneruskan hubungan kita karena mungkin yang masih ada rasa cinta hanya aku, kamu tidak lagi. Iya kan Mik? Aku doakan, Semoga hubunganmu dengan Nadia berjalan dengan sempurna ya Mik. Jangan sampai hubunganmu dengan Nadia berakhir seperti hubungan kita, Makasih Mik.

Salam sayang,
Rera Maulidya

Esok harinya, Rera menaruh surat itu di laci meja Miko sambil menaruh hadiah ulang tahun untuk Miko, karena hari ini tanggal 21 November adalah hari ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Tak lama kemudian, Miko membuka hadiahnya dan membaca surat dari Rera. Miko terkejut. Ia pikir, Rera tidak akan meu mengucapkan selamat ulang tahun untuk Miko karena kejadian kemarin. Tapi ternyata dugaan Miko salah. Miko sempat meneteskan air mata saat membaca surat dari Rera. Miko merasa sangat bersalah telah menyakiti Rera, Tapi apa mau dikata, Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Sudah tidak ada lagi yang harus dipermasalahkan. Yang ada hanya penyesalan antara Rera, Nadia dan Miko.
~Tamat~

Jumat, 17 Februari 2012

Cerbung 2 #Kenapa Begini ?

3 hari berlalu, Rera sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Selama 3 hari di rumah sakit, Rera dan Miko tidak pernah berkomunikasi. Rera tidak mau menghubungi Miko karena ia masih marah soal kejadian waktu itu. Miko juga sepertinya tidak merasa bersalah dengan Rera.
Keesokan harinya, Rera kembali berangkat sekolah. Biasanya Miko selalu menyambut kedatangan Rera dengan ceria saat Rera turun dari mobilnya. Namun pagi ini berbeda. Tidak ada tanda-tanda Miko. Dengan perasaan kecewa, Rera pun melangkah menuju kelas.
"Rera? kamu udah sembuh?" tanya Vero bersama teman-teman yang lain.
"Udah." Jawab Rera singkat sembari menaruh tas ungunya di kursi tempat ia duduk.
"Ra, aku duduk sebangku sama kamu ya?" pinta Vero sambil memindahkan tas ranselnya.
"Oke Ver. Eh, Miko mana ya?" tanya Rera.
"Tauk Ra. Tuh tanya aja sama Nadia." jawab Vero ketus. Rera pun menghampiri Nadia di bangkunya.
"Nad?" sapa Rera.
"Ra, aku minta maaf banget soal kejadian waktu itu ya?" ucap Nadia sambil memgang pundak Rera.
"Hih.. Lepas! Mana Miko?"
"Mungkin Miko lagi ngerjain tugas di kelas. Tadi dia bilang dia belum ngerjain tugas Fisika." jelas Nadia tersenyum.
"Oh gitu ya? thanks." kata Rera singkat. Nadia hanya menunduk.
"Ver, anter aku ke kelasnya Miko yuk?" ajak Rera pada Vero.
"Rera Rera.. buat apa kamu nemuin cowok kurangajar kayak Miko?" sindir Vero.
"Heh apa maksudmu? Kamu tu yang kurangajar!" hardik Nadia sambil mengacungkan jari telunjuknya ke muka Vero.
"Heh cewek ganjen! Emang kamu siapanya Miko? Ha? Rera yang pacarnya aja cuma diem kok." bentak Vero sambil menggebrak meja. Nadia lantas cuma bisa diam.
"Udah udah! Ver, maksudmu apa ngatain Miko kayak gitu?" lerai Rera.
"Ra, selama kamu di rumah sakit Miko dan Nadia selalu jalan berdua. Apa kayak gitu gak kurangajar?" jawab Vero jujur.
"Apa bener itu Nad?" tanya Rera pada Nadia.
"Emm.." Nadia belum menjawab.
"Udah deh Nad. Ngaku aja!" hardik Vero.
"Diem Ver! Nad, jawab Nad" bujuk Rera.
"Emm.. iya Vero bener Ra." jawab Nadia lirih. Mendengar pernyataan Nadia, Rera lantas berlari menuju kelas Miko sambil menangis. Di belakang, Vero berusaha mengejar Rera. Dan Nadia hanya bisa diam melihat semuanya terjadi sembari meratapi kesalahannya.
"Miko!" teriak Rera di depan pintu kelas Miko.
"Rera? kamu udah masuk sekolah? gimana kabar kamu sayang?" ujar Miko mencoba basa-basi.
"Diem Mik! Jelasin aku semuanya tentang hubungan kamu sama Nadia! Jelasin Mik!" perintah Rera sambil terus menangis.
"Aku gak ada hubungan apa-apa sama Nadia." jawab Miko berbohong.
"Bohong kamu! Aku udah tau semuanya dari Vero. Jelasin atau kita putus!!" hardik Rera.
"Iya iya aku kan jelasin. Aku memang punya hubungan khusus sama Nadia." jelas Miko berterus terang.
"Lalu bagaimana dengan hubungan kita Mik? kamu dengan mudah ngehancurin semuanya. Hubungan yang udah lama kita rajut berkhir sia-sia. Sekarang aku tanya kamu pilih aku atau Nadia?"
"Maaf Ra? aku gak bisa milih."
"Cepet jawab! Atau biar aku yang pergi."
"Jangan Ra. Aku sayang sama kamu."
"Omong kosong! ssemuanya omong kosong! Aaarrgghh.." Rera mencoba berlari. Tapi Miko menarik tangannya.
"Lepasin Mik! Mulai sekarang kita putus dan aku harap kamu gak ganggu kehidupanku lagi. Makasih buat kenangan-kenangan yang udah pernah kamu kasih ke aku. Slamat tinggal Mik."
"Reraaaaa.... Aku minta maaf. Tolong jangan putusin aku." pinta Miko pada Rera.
"Maaf mu gak akan cukup buat ngganti rasa sakitku Mik. Bye." Rera pun berjalan meninggalkan Miko sembari terus menangis. Rera berjalan menuju kamar mandi untuk melampiaskan semua rasa sakitnya.
"Kenapa begini? Kenapa harus berakhir seperti ini? Kenapa harus sahabatku sendiri yang menghianati aku? Kenapa? Kenapa?" Rera menagis sambil berteriak di dalam kamar mandi.
"Ra, cukup Ra. Ayo keluar." bujuk Vero sembari mengetuk pintu kamar mandi. Setengah jam kemudian, Rera pun mau keluar atas bujukan Vero. Seragam Rera basah kuyup dan mata Rera merah karena terlalu lama menangis. Vero pun mengantar Rera pulang ke rumahnya. Beberapa saat kemudian, Vero dan Rera sampai.
"Makasih ya Ver udah mau nganter aku pulang." ucap Rera sambil melepas helm ungu nya.
"Sama sama Ra. Kamu buruan masuk ke dalem, gih! Udah basah kuyup gitu ntar masuk angin gimana?" ujar Vero yang masih duduk di atas motornya.
"Iyadeh Ver. Kamu emang sahabat yang paling bisa ngerti aku. Makasih ya?"
"Cielah kamu bisa aja Ra. Mm.. kamu beneran mutusin Miko atau tadi itu cuma emosi sesaat aja?" tanya Vero.
"Mm.. enggak Ver. Aku beneran mau putus."
"Kamu yakin Ra? Nanti kan Nadia jadi makin mudah deket sama Miko. Gimana tu?"
"Udahlah Ver. Aku rasa ini keputusan yang paling baik buat hubunganku sama Miko. Yaudah deh jangan bahas ini lagi. Kamu balik ke sekolah lagi aja Ver?"
"Oke deh. Dadaaaa Rera.." pamit Vero.
"Daaa.." Rera pun segera masuk ke dalam rumahnya dan langsung mengeringkan tubuhnya dengan handuk kering.

Minggu, 12 Februari 2012

Uji coba pembuatan roket air kelompok Pascal :D

Kelompok Pascal terdiri dari aku sendiri, hafizh, dinda, yaya, adi, rizka dan bela. Tapi sayangnya waktu acara pembuatan tadi, yang datang cuma aku, adi, hafizh dan dinda. Tapi, gak masalah berkat bantuan Pak ***** entah siapa namanya kami berhasil membuat roket air. Hoyeee :D
Roket air yang kami buat alat dan bahannya terdiri dari botol plastik, air, lakban hitam, gunting, cutter, kertas karton, batu baterai dan lain-lain. Ini dia foto dari perlatan yang kami gunakan tadi.





dan ini dia proses saat kami membuat roket air :D

   
eing ing eng.. Ini peluncuran roket pertama kami yang masih jauh dari sempurna :D

Terimakasih .. :)

Jumat, 10 Februari 2012

Daiva Story #Part 4

"Silvi, Silvi! Aku punya berita terbaru tentang Justin lho." kataku berusaha untuk membuat Silvi penasaran.
"Berita apa Va? Kasih tau aku dong." rengek Silvi penaaran.
"Mm.. kasih tau gak ya? Mm.. Ta..di.. malem aku di sms sama Justiiiiinn lho." teriakku sampai anak-anak sekelas mendengar perkataanku. Seketika anak-anak di kelasku yang sama-sama ngefans sama Justin langsung buru-buru mengerumuni bangkuku.
"Masak sih Va? Yang bener?" tanya Silvi mewakili pertanyaan dari teman-temanku yang lain.
"Iyalah! Aku beneran. Noh.. Liat aja smsnya!" kataku meyakinkan mereka sambil mengeluarkan HP kesayanganku dari saku bajuku.
"Wiihh... kok bisa sih Va? aku minta nomer HP nya Justin donk!" Bujuk Silvi dan teman-temanku yang lain.
"No.. No.. No.. Enak aja? Gak segampang itu, friends. Sini balikin HP ku." jawabku sambil merebut HP ku dari tangan Silvi. Ya.. sepertinya satu sekolahanku jadi heboh gara-gara Justin sms ke nomerku. Sebagian percaya, sebagian lagi enggak. Tapi beruntungnya namaku jadi terkenal sesekolahan. Mulai dari anak kelas 7 sampai kelas 9 semuanya menyebut namaku. Daiva.
Stop! Jangan seneng dulu. Rupanya ada aja yang syirik sama aku. Salah satu genk di sekolahku. Namanya 'Clara CS' anggotanya ada 5 orang. Sebut saja kak Nayla, Kak Clara sebagai ketua, Kak Manda, Kak Ratri dan yang terakhir Kak Geisha. Anggota genk Clara emang cantik-cantik orangnya. Tapi, mereka bisa dibilang kurang pandai karena lebih mementingkan kecantikan mereka daripada pelajaran. Entah mengapa, mereka berlima sangat membenci saya.
"Tet.. Tet.." Bel tanda istirahat berbunyi. Aku keluar kelas bersama Amanda dan David teman dekatku. Tujuan pertamaku adalah ke kantin buat jajan. Hmm.. mau jajan apa ya? Nasi goreng ada? Soto ada? Mie ada? Apa ya? Nah pilihanku malah jatuh pada bakso. Salah satu makanan favoritku. Akupun segera memsan semangkuk bakso dan mencari tempat duduk untukku, Amanda dan David. Yummy.. pesananku datang. Wah, ternyata bakso ku dibawain sama Kak Clara. Ketua genk yang sangat membenciku. Dengan santainya aku bilang ke Kak Clara.
"Wiihh.. Thank you Kak Clara." kataku dengan penuh semangat menyambut kedatangan Kak Clara.
"Hahaha.. Guys, rupanya bocah kecil ini nantangin kita!" sindir Kak Clara sambil bertepuk tangan. Aku cuma diam karena aku lagi gak mood ribut sama orang.
"Wah, cemen nih anak! Daiva is looser." cemooh Kak Geisha padaku. Aku gak terima dikatain kayak gitu. Tanpa berpikir panjang, kupraktikkan sedikit jurus Taekwondo ku. Ciaattss... Kak Geisha jatuh tak berdaya. Mati aku!
"Kurangajar! Awas kamu! Liat aja ntar kita bales!" ancam Kak Ratri. Karena aku merasa aku benar, dengan entengnya aku membalas kata-kata Kak Ratri.
"So, Daiva gak takut."

Cerbung 1 #Kenapa Begini ?

 Rera Maulydia atau biasa dipanggil Rera adalah gadis cantik yang berpostur ideal. Selain itu dia juga termasuk anak yang pandai. Tak heran kalau banyak anak cowok yang naksir sama Rera. Saat ini Ia berumur 16 tahun dan sedang duduk di bangku kelas 1 SMA. Seperti remaja lainnya, Ia punya seorang pacar. Namanya Miko. Sudah hampir 1,5 tahun mereka berdua menjalin hubungan. Di tahun pertama mereka pacaran, hubungan Rera dan Miko baik-baik saja. Namun menginjak tahun kedua, mucul banyak masalah yang menguji hubungan mereka berdua.
“Reraaa...?” sapa Miko sambil tersenyum di depan bangku Rera.
            “Iya Mik. Ada apa?” gumam Rera lembut.
            “Ra, aku punya sesuatu buat kamu. Tapi kamu merem dulu ya dan janji habis makan coklat ini kamu harus sembuh. Jangan sakit lagi. Janji ya?” ucap Miko sambil mencoba duduk di samping Rera.
            “Iya aku janji. Jangan lama-lama ya Mik, malu diliatin temen-temen?”
            “Enggak kok. Nah, sekarang buka matamu.” Perintah Miko pada Rera.
            “Wah? Coklat? Makasih ya Mik?” ucap Rera tersenyum lebar sambil berusaha meraih tangan Miko.
            “Hehe.. Kembali kasih Rera. Cepet sembuh. Aku balik ke kelas dulu ya?” pamit Miko sambil melambaikan tangannya.
            Setelah kelas usai, Rera bersama kedua sahabatnya Nadia dan Vero berjalan menuju pagar sekolah untuk menunggu jemputan. Saat sedang menunggu, Miko datang.
            “Ra, aku anter kamu pulang ya?” rayu Miko sambil mendekati Rera.
            “Nggak usah Mik. Ntar ngerepotin?” Tolak Rera halus.
            “Tapi kamu kan lagi sakit? Aku gak tega ninggalin kamu sendirian disini.”
            “Gak..pa..pa Mik. Ma..sih ada Nadia sama Vero kok.” Kata Rera dengan muka pucat.
            “Ayolah Ra..” bujuk Miko.
            “Gak usah Mik. Eh itu aku udah dijemput. Aku duluan ya? Dadaaa Miko..” Setelah Rera pergi, Miko ternyata ngobrol dengan Nadia dan Vero.
            “Mik, aku boleh nebeng kamu pulang gak? Rumahku sama rumahmu kan sejalur?” pinta Nadia sambil mendekati Miko. Vero yang tomboy cuma diem aja.
            “Wah, gimana ya? Aku takut Rera cemburu.” Tolak Miko.
            “Kan dia gak ngeliat kita Mik. Boleh ya ya ya?” rayu Nadia.
            “Jangan mau Mik.” Ucap Vero menyela.
            “Diem kamu Ver. Boleh ya Mik?” rayu Nadia untuk kedua kalinya.
            “Mmm.. Iyalah Nad.”
            “Yes!” Nadia gembira. Vero kaget melihat tingkah Nadia yang seperti itu pada Miko. Karena Vero tidak berhasil mencegahnya, Miko dan Nadia pun pulang bersama.
            Di tengah perjalanan pulang, Rera yang sedang memarkirkan mobilnya di depan sebuah cafe untuk membeli makanan tidak sengaja melihat Miko dan Nadia boncengan naik motor berdua.
            “I.. i.. tu.. kan... Mi..ko.. Na..dia?” Rera tidak percaya dan mengira kalau matanya mungkin salah lihat. Ia berfikir kalau Miko tidak mungkin berani berbuat seperti itu padanya. Tapi, beberapa menit kemudian, Vero sms ke HP nya Rera :
            Ra, tadi Miko nganter Nadia pulang.
            Rera sangat shock ketika membaca sms dari sahabatnya itu. Rera yang sedang sakit justru pingsan setelah membaca sms dari Vero.
            Rera akhirnya segera dilarikan ke rumah sakit oleh sopirnya. Dan menurut diagnosa dokter, Rera memiliki penyakit Jantung yang disebabkan oleh faktor keturunan dari Mama nya. Mendengar kabar tersebut, malam harinya Vero memutuskan untuk menjenguk Rera di rumah sakit.
            “Rera?” sapa Vero sambil menaruh sebuah parcell buah di meja.
            “Repot-repot Ver.”
            “Ya gakpapa. Cepet sembuh ya Ra. Tante, aku boleh gak ngomong berdua aja sama Rera?” Kata Vero tersenyum pada Mama Rera.
            “Oh. Boleh aja.” Mama Rera mengijinkan dan segera berjalan keluar kamar.
            “Ver, ceritain soal tadi dong?” pinta Rera.
            “Gini Ra, tadi habis kamu dijemput, Nadia aneh banget. Tiba-tiba dia minta dianter pulang sama Miko. Aku udah berusaha nyegah. Tapi karena dirayu Nadia, Miko mau nganter Nadia pulang.” Jelas Vero.
            “Huuf.. Iya tadi aku liat mereka lewat di depan cafe. Boncengannya mesra lagi. Aku aja pingsan gara-gara liat  mereka berdua.” Ujar Rera kesal.
            “Sabar ya Ra. Aku gak bermaksud buat manas-manasin kamu.” Ucap Vero sambil merundukkan kepalanya.
            “Gakpapa Ver. Oh iya, kamu jangan kasih tau ke temen-temen termasuk ke Miko kalau aku punya penyakit Jantung ya Ver. Cukup kamu aja yang tau.” Pinta Rera.
            “Lho emang kenapa Ra?” tanya Vero bingung.
            “Pokoknya jangan. Janji ya Ver?”
            “Iya deh Janji.” Rera dan Vero pun melanjutkan perbincangan mereka sampai larut malam. Rera mengungkapkan semua perasaan yang dialaminya pada Vero.
            Esok harinya, matahari cukup terik menyinari bumi. Tapi Rera ijin tidak bisa berangkat sekolah karena masih harus dirawat di rumah sakit. Sebagai sahabatnya, Nadia menanyakan keberadaan Rera pada Vero.
            “Ver, Rera kemana?” tanya Nadia sambil menata buku-bukunya diatas meja.
            “Di rumah sakit.” Jawab Vero ketus.
            “Kamu kenapa sih?” tanaya Nadia heran.
            “Tanya tuh sama dirimu sendiri!” bentak Vero sambil memukul meja.
            “Lho memangnya aku kenapa?” tanya Nadia semakin heran.
            “Udahlah, susah ngomong sama kamu. Minggir aku mau lewat!” Vero pun berjalan menjauh dari Rera. Ia melangkah menuju kantin. Di kantin, Ia bertemu dengan Miko.
            “Hai Ver.” Sapa Miko ramah sambil membawa segelas es jeruk di tangan kanannya.
            “Hai juga.” Jawab Vero malas.
            “Eh mana Rera? Biasanya dia kan bareng sama kamu?” tanya Miko perhatian.
            “Rera dirumah sakit.” Jawab Vero.
            “Hah? Dia sakit apa? Dia sekarang dirawat dimana?” tanya Miko penasaran.
            “Di RS Mangunkusumo. Udah ya, aku buru-buru. Males ngomong sama cowok kayak kamu.”  Celetus Vero.
            “Heh! Maksud kamu apaan?” Hardik Miko tak terima.
            “Cari tau aja sendiri :p” Vero berlari meninggalkan Miko dan berjalan kembali ke kelasnya.
            Pukul 15.00 kelas usai. Miko buru-buru mengambil motornya dan berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk pacaranya. Vero dan Nadia juga demikan. Tak disangka, mereka bertiga sampai di rumah sakit secara bersamaan. Karena masih kesal dengan Miko dan Nadia, Vero pun berjalan sendiri ke kamar Rera dengan muka masam.
            Di belakang Vero, rupanya Miko dan Nadia berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Vero semakin kesal melihat tingkah laku mereka berdua. Vero sangat memikirkan bagaimana perasaan Rera jika melihat kejadian ini. Vero pun mempercepat langkahnya agar sampai duluan di kamar Rera dan bisa mengadukan kejadian ini padanya.
            “Huf.. Huf.. anu Ra.. anu..” ucap Vero ngos-ngosan.
            “Apaan sih Ver? Yang jelas dong kalau ngomong.”
            “Anu Ra.. sekarang Miko sama Nadia lagi jalan berdua kesini. Udah gitu mereka jalan kesini sambil gandengan tangan Ra.” Jelas Vero masih ngos-ngosan.
            “Apa?” Rera kaget. Ia lantas mencoba duduk tapi tidak bias karena kondisi tubuhnya yang masih lemah.
            “Eits.. kamu tiduran aja Ra.” Cegah Vero. Beberapa saat kemudian, Miko dan Nadia dating.
            “Rera, gimana keadaan kamu, sayang? Ini aku bawa coklat kesukaan kamu. Cepet sembuh ya?” ucap Miko manis sambil mendekat kea rah Rera.
            “Alhamdulillah aku baik baik aja Mik.” Jawab Rera murung.
            “Kok kemarin kamu gak bilang ke aku kalau kamu masuk rumah sakit?” tanya Miko dan Nadia kompak.
            “Buat apa Rera ngasih tau kalian? Emang kalian peduli sama Rera?” sela Vero memojokkan.
            “Huss Vero?” hardik Rera. Raut muka Miko dan Nadia tampak kebingungan tidak mengerti apa maksud perkataan Vero.
            “Biarin Ra. Toh mereka malah asyik berduaan kan? Ya gak Nad?Mik?” sindir Vero.
            “Heh! Maksudmu apa? Dari tadi nyolot aja?” Bentak Miko sambil mendorong badan Vero ke tembok.
            “Apa-apaan sih?” teriak Nadia keras berusaha melerai Vero dan Miko.
            “Diem kamu Nad! Kamu berusaha ndeketin Miko kan?” bentak Vero.
            “Maksud kamu apa Ver?” tanya Nadia bingung.
            “Stop! Kalau kalian mau berantem bukan disini tempatnya! Apa kalian gak liat kalau aku lagi sakit?” ucap Rera kesal.
            “Ra, maksud Vero tadi apa?” tanya Miko halus.
            “Tanya Vero aja Mik.” Jawab Rera masih kesal.
            “Mik, perlu kamu tau ya. Kemarin Rera pingsan gara-gara lihat kamu boncengan mesra sama Nadia. Apa kamu gak ngerasa bersalah sama Rera?” jelas Rera dengan muka cemberut. Mendengar penjelasan Vero,  tiba-tiba Nadia berlari keluar dan gak disangka Miko mengejar Nadia. Rera yang melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri seolah tak percaya. Hati Rera hancur dan kondisi Rera yang lemah makin melemah.
           
           

Sabtu, 04 Februari 2012

Cerpenku :D

 

            Siang itu tepat pukul setengah satu aku keluar dari halaman sekolah. Aku berjalan menuju lampu merah yang tak jauh dari sekolah sambil membawa tas yang berisi buku-buku yang berat. Kakiku terus melangkah. Aku berjalan bersama teman-temanku sembari bersendau gurau. Tak terasa sampailah kami di lampu merah tempat menuggu bus. Aku berdiri menuggu bus jalur enam lewat. Beberapa menit kemudian, bus yang aku tunggupun datang. Aku segera masuk ke dalam bus tersebut. Aku duduk di bangku paling depan di samping tempat duduk sopir. Kali ini bus itu terasa sempit sekali. Banyak orang yang membawa barang-barang berat. Bahkan ada yang membawa beberapa kantung karung beras. Baru sebentar aku duduk, ada seorang penumpang yang masuk dari pintu depan bus. Ia terlihat sudah tua sekali. Mungkin umurnya hampir 70 tahun. Namun dengan tubuh tuanya itu Ia masih kuat menggendong sekarung beras di pundaknya. Aku  kasihan sekali melihatnya. Akupun mempersilahkan kakek itu duduk di samping tempat dudukku.
            Awalnya aku merasa nyaman duduk di samping kakek tua itu dan bersebelahan dengan sopir bus. 10 menit kemudian, bus pun mulai melaju. Aku mulai melempar senyum pada kakek tua itu. Lalu kuberanikan diri untuk memulai percakapan dengannya.
“Turun dimana Kek?” tanyaku sopan.
“Di Terminal.” Jawabnya singkat. Tiba-tiba, aku dikejutkan dengan tingkah laku kakek tua itu. Dia merogoh-rogoh saku bajunya.
“Oh.. Mau ambil apa itu Kek?” tanyaku heran.
“Ini mau ngambil rokok.” Katanya pelan. Ternyata kakek tua itu akan mengambil satu bungkus rokok. Deg! Aku kaget sekali. Aku tak menyangka kakek setua itu masih mampu merokok. Aku miris melihatnya. Apalagi aku paling anti dengan yang namanya rokok. Menghirup asapnya saja dadaku bisa sesak.
Kakek tua itu mulai menyalakan korek apinya dan mulai menghisap rokok tersebut. Aku buru-buru menutupi hidungku dengan tangan kiriku. Sopir yang bersebelahan denganku juga tak jauh berbeda. Ia memegang kemudi sambil asyik merokok. Bahaya sekali buatku.
“Uhukk..uhukk..” Aku batuk dan dadaku mulai terasa sesak.  Karena tidak tahan dengan asap rokok, akupun pindah tempat duduk. Aku pindah di tempat duduk paling belakang. Aku duduk di dekat dua orang remaja laki-laki yang masih memakai seragam OSIS  SMA.  Seperti sebelumnya, akupun duduk dengan nyaman dan tenang. Beberapa saat kemudian, kedua remaja tersebut menyalakan korek api dan mulai mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajunya. Kedua remaja tersebut terlihat sudah lihai merokok. Itu terlihat dari cara mereka merokok. Dadaku mulai sesak lagi. Tapi kali ini aku  memutuskan untuk tidak pindah tempat duduk karena sebentar lagi aku sampai.
            Tinggal melewati satu lampu merah lagi aku turun. Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan menuju pintu depan bus.
“Kiri Pak!kiri!” teriakku pada kernet bus. Akupun turun. Aku melanjutkan perjalanan pulangku menyusuri jalan dekat lampu merah. Saat melewati jalan itu, di pinggiran jalan banyak anak laki-laki seumuranku sedang nongkrong sambil merokok. Kebetulan ditempat itu ada teman SD ku dulu.
“Vira?” sapa teman SD ku yang bernama Romi sambil memegang rokoknya.
“Eh, Romi? Ngapain kamu disini Rom? Udah pulang sekolah ya?” tanyaku.
“Biasalah aku sama temen-temenku kan bolos sekolah.” Jawabnya enteng.
“Kok bolos sih? Emang enggak dimarahin?” tanyaku bingung.
“Kalau ketauan pasti dimarahin, tapi kita kan bolosnya sembunyi-sembunyi jadi enggak ketauan.” Jelasnya sambil asyik memainkan sebatang rokok miliknya.
“Emh.. gitu ya? Itu yang kamu pegang apaan? Rokok enggak baik buat kesehatan lho.” Nasihatku.
“Biarin. Enak kok, mau coba? Hahaha..” ledek Romi.
“Ih.. enggak! Ya sudah aku duluan ya?” pamitku. Romi dan teman-temannya mengangguk. Aku kembali melanjutkan perjalanan pulangku memasuki sebuah gang kecil yang didepannya ada gapura bercat kuning bertuliskan “Dusun Sukamaju”. Sekitar delapan langkah lagi tibalah aku di depan pagar rumahku. Kudorong pagar rumahku kekiri lalu kulepas sepasang sepatu yang kukenakan dan aku masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam.
“Assalammualaikum?”
“Waalaikumsalam. Sudah pulang Vir?” tanya ibu yang sedang menyapu.
“Sudah Bu. Bu tadi Vira ketemu Romi. Sekarang dia udah berubah 180 derajat deh.” Kataku.
“Berubah kayak gimana Vir?”
“Iya berubah. Tadi Vira ketemu didekat lampu merah. Romi sama teman-temannya lagi nongkrong sambil merokok Bu.” Jelasku.
“Astagfirullah. Apa benar Romi jadi seperti itu Vir?” tanya ibu kaget.
“Iya Bu. Aku juga enggak nyangka sekarang dia jadi seperti itu.”
“Ya sudah biarkan saja. Kamu jangan ikut-ikutan seperti itu ya Vir?” kata ibu menasihatiku.
“Baik Bu. Vira ke kamar dulu ya?” Ibu cuma diam.  Akupun masuk ke kamar dan ganti baju lalu beristirahat sejenak sambil membaringkan badanku yang sudah lelah. Tak terasa aku ketiduran di tempat tidur.
Sorenya aku bangun dan langsung menyetel televisi hitam dikamarku. Saat sedang asyik menonton televisi, Ibu menyuruhku makan. Tapi aku menolaknya.
“Kalau nonton TV cari acara yang bagus Nak.” Perintah Ibu. Mendengar perintah itu aku langsung mengambil remot dan cepat-cepat mengganti channel yang aku tonton. Aku menggantinya dengan channel nomor lima. Di channel itu sedang ditayangkan acara yang berjudul “Membasmi rokok”. Mataku langsung terfokus pada acara tersebut. Acra itu berisi tentang bahaya merokok dan bagaimana cara mengatasinya. Saat menonton acara itu aku sampai lupa berkedip. Menurutku acara itu bagus sekali.
Tepat pukul lima sore ayahku pulang membawa kardus-kardus besar berisi puluhan rokok. Aku terkejut.
“Ayah? Ini mau buat apa?”
“Buat dijual. Ayah sekarang kan kerja di pabrik rokok” Jawab ayah.
“Hah? Vira enggak setuju kalau ayah kerja di pabrik rokok!” bentakku.
“Memangnya kenapa Vir?”
“Tadi waktu Vira naik bus Vira duduk disamping kakek tua dan bersebelahan dengan sopir bus. Kakek sama sopir bus itu sama-sama merokok. Lalu Vira pindah tempat duduk di belakang dekat dua anak SMA. Vira pikir kakak-kakak itu tidak merokok. Eh, ternyata mereka berdua juga merokok. Terus tadi Vira ketemu Romi. Sekarang Romi juga merokok.” Jelasku panjang lebar.
“Terus kenapa?”
“Ih... Ayah tahu kan bahayanya merokok? Rokok itu bisa menyebabkan gangguan paru-paru sama jantung, Yah. Coba deh ayah bayangin kalau penduduk Indonesia dari mulai remaja, dewasa sampai lansia semuanya merokok? Apa yang akan terjadi, Yah?” Ayah hanya diam merenungkan perkataanku.
“Pasti hampir seluruh penduduk Indonesia terserang banyak penyakit akibat merokok. Akibatnya banyak orang terenggut nyawanya akibat rokok. Bahaya sekali bukan?” ujarku.
“Ayah tahu itu Nak.” Jawab ayah singkat.
“Lantas tunggu apa lagi? Buang saja semua rokok-rokok itu?” perintahku.
“Tapi ini milik bos ayah, nanti kalau ayah dipecat bagaimana?” tanya ayah sambil menundukkan kepalanya.
“Ayah kan bisa bekerja ditempat lain? Memangnya ayah tahan kerja di pabrik rokok?” hardikku.
“Ayah memang tidak nyaman bekerja ditempat itu. Dada ayah sering terasa sesak ketika membungkus satu demi satu batang rokok dengan plastik. Tapi mau gimana lagi? Ayah sudah di PHK dari perusahaan Pak Wawan.” Keluh ayah.
“Emm... Bagaimana kalau ayah bekerja disekolahku menjadi satpam? Kebetulan sekolahku sedang membutuhkan seorang satpam. Ayah bisa meninggalkan pekerjaan ayah itu dengan menjadi satpam disekolahku. Bagaimana?” kataku sambil tersenyum dan menarik tangan ayah.
“Baiklah. Nanti ayah akan pertimbangkan. Sekarang biar ayah kembalikan rokok-rokok ini kepabrik dan bicara kepada bos ayah supaya tidak memproduksi rokok lagi.”
“Waaa... Ide yang bagus Yah, Vira senang sekali punya orangtua seperti ayah.” Ujarku sambil memeluk ayah.
“Iya Vira. Kamu memang anak yang baik. Kamu sangat peduli dengan lingkungan sekitarmu. Ayah bangga memiliki anak sepertimu. Andai saja semua anak di negri ini seperti kamu, pasti tidak akan ada budaya merokok di negri kita.” Ucap Ayah sambil mengelus rambutku.
“Iya dong Yah.” Jawabku bangga. Ibu langsung menghampiriku dan memelukku dengan erat.
            Keesokan harinya Ayah pergi ke pabrik untuk mengembalikan puluhan rokok itu dan membujuk bosnya supaya tidak memproduksi rokok lagi. Lambat laun pemilik pabrik rokok itu sadar akan bahaya rokok. Pabrik rokok itu kini berubah menjadi pabrik sepatu. Usahanya justru semakin maju dibanding saat Ia memiliki pabrik rokok. Mendengar kabar tersebut aku senang dan bangga dapat sedikit membasmi rokok.

Kamis, 02 Februari 2012

Daiva Story #Part 3

Aku pun bergegas berangkat ke sekolah. Takut terlambat. soalnya jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 06.55. Wow! 5 menit lagi masuk. Padahal jarak rumahku ke sekolah kira-kira 15 menitan. Yaaahh bakalan telat 10 menit nih.
"Pak, Pak! Bukain gerbangnya. Daiva mau masuk." teriakku pada satpam sekolah sambil lari menuju gerbang sekolah.
"Maaf Neng, bapak gak bisa bukain. Nanti malah bapak yang dimarahin?"
"Tolonglah Pak, kali ini saja Daiva mohon." bujukku pada pak satpam.
"Ini kan sudah yang ke 7 kalinya Neng." celoteh Pak Satpam padaku.
"Huuusssyaaahh... Awaas daiva mau lewaat." Aku langsung berlari melewati Pak Satpam dan menuju kekelasku. Kelas VII B yang ada di dekat Kantor BP. Karena takut ketauan terlambat, saat akan melewati Kantor BP, aku yang tadinya lari tunggang langgang, beralih jadi jalan dengan tenang dan pelan. Pelan sekali. 
       Tapi, hal yang kutakutkan terjadi. Seorang Guru BP (entah siapa namanya aku gak tau) yang terkenal galak dan sadis itu memanggilku dan menyuruhku masuk ke kantor BP. Beruntungya aku kali ini, aku tidak mendapat hukuman karena baru pertama kali ketauan terlambat. (aslinya udah 7 kali lho haha). Tersenyumlah aku karena tidak jadi dihukum. Dan aku pun masuk kekelasku tercinta. Dan horeee kali ini keberuntungan berpihak padaku. Saat aku masuk, rupanya Pak Sans sedang ada rapat jadi Beliau hanya meninggalkan tugas saja untuk kelasku. Yes!
       Akhirnya, aku duduk dibangkuku berdekatan dengan bangku Silvi. Silvi adalah salah satu temanku yang juga ngefans berat sam Justin Bieber. Kebetulan banget nih. Aku bakal cerita ke dia kalau aku dapet sms dari Justin. Pasti dia bakal iri sama aku. Yes Yes Yes!

bersambung ~~