Jumat, 10 Agustus 2012

Tragedi 10 November 1945

Oleh : Nurfirda Herliana

Matahari mulai terbenam, ku ayunkan tangan kecilku untuk menyalami mereka yang datang. Dibalik senyum kecil mereka, aku tau mereka menyembunyikan kesedihan mereka yang teramat dalam. Lihatlah, dari ratusan pelayat, beberapa diantara mata mereka dibingkai oleh tetes air mata.
            “Sabar ya, San.” ucap mereka semua serupa. Aku hanya diam. Mencoba menenangkan jiwaku yang hampir hancur dimakan kesedihan. Disampingku, Bonar sahabatku selalu mengobarkan semangat agar aku tak rapuh dilanda duka.
“Percuma Ga, aku tetap berduka” batinku dalam hati.
             Sudah 40 hari lamanya Sinta meninggalkanku dengan berjuta rasa rindu dalam diriku yang hingga kini masih belum terobati. Belum lagi, kematian Sinta yang menurutku tak pantas untuknya. Harusnya Sinta mati dalam keadaan baik. Bukannya mati dalam keadaan seperti ini. Masih terngiang dalam pikiranku kematian Sinta yang begitu mengenaskan.
            Yogyakarta, 10 November 1945 pukul 05.00.
Sinta berangkat dari Jogja menuju Surabaya menggunakan kereta uap hitam yang berbahan bakar batu bara. Sudah 5 tahun aku dan Sinta terpisah. Karena Sinta dipaksa bekerja sebagai penjahit seragam tentara Jepang pada waktu itu bersama Bibi Nakamoto yang juga masih keturunan Jepang.
            Dan hari ini juga, Sinta diijinkan pulang. Sungguh senang hatiku ketika mendapat kiriman surat dari Sinta yang mengabarkan bahwa Ia akan pulang ke Surabaya. Rasa rindu yang hampir mati karena tak kunjung dipertemukan dengan Sinta mulai memuncak kembali. Hatiku berbunga-bunga, aliran darahku tiba-tiba lancar sekali, badanku jadi bugar dan mataku gatal ingin segera melihat kedatangannya di stasiun siang ini. Pagi-pagi sekali sambil menunggu Sinta datang di rumahku di Jl. Mawar yang letaknya 3 km dari Jembatan Merah, aku sibuk menyiapkan sebuah pesta kecil untuk menyambut kedatangannya. Kubuatkan sepotong kue lapis warna hijau dan putih kesukaannya yang bersanding dengan secangkir kopi hitam yang jadi minuman andalanku saat ini.
            “Hm.. Lezatnya. Aku yakin Sinta pasti suka.” Batinku dalam hati sambil tersenyum girang.
            Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10 siang. Saatnya aku berangkat ke stasiun untuk menjemput Sinta. Aku keluar rumah dengan perasaan gembira. Kuhentikan sebuah andong beroda 4 yang secara  tidak sengaja melintas di depan rumahku.
            Sudah 30 menit lamanya aku menumpang andong yang lakunya rasanya makin melambat karena perasaanku yang sudah tak sabar melihat sahabatku, Sinta.
            Beberapa menit kemudian, akhirnya aku sampai di stasiun tempat kereta uap yang ditumpangi Sinta dari Yogyakarta berhenti. Kulangkahkan kakiku memasuki stasiun. Derap kaki puluhan orang meramaikan suasana stasiun siang ini. Kutengok kea rah kanan dan kiri, sibuk mencari keberadaan Sinta.
            “Nah, itu Sinta. Sin, Sin, Sinta…” teriakku sambil mengankat tangan kananku dan melambaikannya bolak-balik searah jarum jam berputar. Mukaku langsung sumringah melihat Sinta buru-buru menghampiriku. Layaknya Induk burung yang pulang membawa makanan untuk anak-anaknya di sangkar, aku dan Sinta langsung berpelukan hangat melepas kerinduan kami yang sudah 5 tahun ini tidak bertemu.
            Dengan senang hati, aku mengajak Sinta ke rumahku menaiki andong yang tadi aku tumpangi. Di dalam andong, aku dan Sinta terus saja mengobrol kesana kemari. Tapi, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara teriakan orang-orang dari kejauhan. Andong yang semula kami tumpangi, berhenti mendadak.
            “Kenapa berhenti, Pak?” tanyaku. Kusir andong itu tidak menjawab pertanyaanku dan malah menyuruhku turun dengan Sinta. Aku menurut saja apa kata kusir andong itu. Setelah aku turun, andong tadi langsung berputar arah dan melaju dengan kencang. Terpaksa Aku dan Sinta harus berjalan kaki.
            Belum lama aku berjalan, kembali terdengar teriakan-teriakan orang kesakitan dan suara-suara ledakan senjata yang entah berasal dari mana. Aku baru sadar bahwa hari ini merupakan hari penolakan rakyat Surabaya yang menolak ultimatum dari Inggris yang isinya menyuruh rakyat Surabaya suapay menyerah pada Sekutu.
            “Sin, bahaya.” Kataku gugup.
            “Apanya yang bahaya, San?” Tanya Sinta mengerutkan kening.
            “Di Jembatan Merah sedang ada perang. Kita bisa mati jika kita lewat sana. Lebih baik kita menumpang dulu di rumah penduduk sekitar sini.” Jelasku pada Sinta.
            “Tenang saja, percayakan semua pada Allah. Kita pasti akan baik-baik saja. Aku ini sudah tidak sabar ingin kerumahmu.” Ucap Sinta berusaha meyakinkanku. Akupun mengangguk mengiyakan ucapan Sinta. Aku dan Sinta pun terus berjalan. Perasaaan takut terus menyelimutiku sedari tadi. Seperti ada sesuatu yang mengganjalku. Dari tempatku berjalan, aku melihat mayat-mayat tergeletak di sepanjang jalan.
            “Sin, kamu yakin ingin meneruskan perjalanan ini? Apa tidak lebih baik kita mampir di rumah penduduk dulu? Lihatlah mayat-mayat ini! Ini sebagai tanda kalau kita tidak diizinkan lewat sini, Sin.” Ujarku mencoba membujuk Sinta agar mau berhenti berjalan.
            “Biarlah, San.” Ucap Sinta lirih.
            Suara ledakan dan senjata makin dekat rasanya. Jantungku makin berdegup kencang. Aku dan Sinta mulai melambatkan laju kaki kami. Aku heran dengan Sinta, mengapa dia tenang-tenang saja mendengar suara-suara seperti ini? Tapi aku tak berani bertanya langsung padanya.
            “Dor..Dor..Dor.. Aaa.. Aaa.. Aaa..” begitulah kiranya suara-suara yang dari tadi aku dengar.
            Aku makin panik. Aku tarik Sinta agar berputar arah dan berlari mencari rumah penduduk. Tapi Sinta melepaskan genggaman tanganku. Sinta terus berjalan lurus ke depan mendekat ke titik rawan perang dan aku berdiri terpaku melihat Sinta menantang nyawanya sendiri. Aku bingung harus bagaimana. Sinta tak mau menurut padaku. Dan…
            “Dor…” Suata tembakan peluru menggelegar dengan dahsyatnya.
            “Aaaaaaa….” Sinta berteriak dengan kencangnya. Aku terperangah. Sinta? Kenapa dia? Aku buru-buru berlari ke arahnya.
“Sintaaaaaaaaaaaaa…” teriakku sekuat tenaga.
Kudapati Sinta terkulai lemas tepat di tengah Jembatan Merah. Darah segar dari dadanya mengalir menganak sungai ke luar badannya yang mungil. Air mataku turun deras dengan sendirinya. Ku raba tangannya untuk mengetahui apakah Sinta masih hidup atau sudah meninggal. Nihil. Denyut nadi Sinta sudah tak terasa. Sinta meninggal di tempat kejadian. Ku elus rambutnya, ku bacakan ayat-ayat suci Al Qur’an yang aku hafal untuk mengantarkan kematiannya.
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar