Oleh : Nurfirda
Herliana
Matahari mulai terbenam, ku
ayunkan tangan kecilku untuk menyalami mereka yang datang. Dibalik senyum kecil
mereka, aku tau mereka menyembunyikan kesedihan mereka yang teramat dalam. Lihatlah,
dari ratusan pelayat, beberapa diantara mata mereka dibingkai oleh tetes air
mata.
“Sabar ya, San.” ucap mereka semua
serupa. Aku hanya diam. Mencoba menenangkan jiwaku yang hampir hancur dimakan
kesedihan. Disampingku, Bonar sahabatku selalu mengobarkan semangat agar aku
tak rapuh dilanda duka.
“Percuma Ga, aku tetap berduka”
batinku dalam hati.
Sudah 40 hari lamanya Sinta meninggalkanku
dengan berjuta rasa rindu dalam diriku yang hingga kini masih belum terobati. Belum
lagi, kematian Sinta yang menurutku tak pantas untuknya. Harusnya Sinta mati
dalam keadaan baik. Bukannya mati dalam keadaan seperti ini. Masih terngiang
dalam pikiranku kematian Sinta yang begitu mengenaskan.
Yogyakarta, 10 November 1945 pukul
05.00.
Sinta berangkat dari Jogja menuju
Surabaya menggunakan kereta uap hitam yang berbahan bakar batu bara. Sudah 5
tahun aku dan Sinta terpisah. Karena Sinta dipaksa bekerja sebagai penjahit
seragam tentara Jepang pada waktu itu bersama Bibi Nakamoto yang juga masih
keturunan Jepang.
Dan hari ini juga, Sinta diijinkan
pulang. Sungguh senang hatiku ketika mendapat kiriman surat dari Sinta yang
mengabarkan bahwa Ia akan pulang ke Surabaya. Rasa rindu yang hampir mati
karena tak kunjung dipertemukan dengan Sinta mulai memuncak kembali. Hatiku berbunga-bunga,
aliran darahku tiba-tiba lancar sekali, badanku jadi bugar dan mataku gatal
ingin segera melihat kedatangannya di stasiun siang ini. Pagi-pagi sekali
sambil menunggu Sinta datang di rumahku di Jl. Mawar yang letaknya 3 km dari
Jembatan Merah, aku sibuk menyiapkan sebuah pesta kecil untuk menyambut
kedatangannya. Kubuatkan sepotong kue lapis warna hijau dan putih kesukaannya
yang bersanding dengan secangkir kopi hitam yang jadi minuman andalanku saat
ini.
“Hm.. Lezatnya. Aku yakin Sinta
pasti suka.” Batinku dalam hati sambil tersenyum girang.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan
pukul 10 siang. Saatnya aku berangkat ke stasiun untuk menjemput Sinta. Aku
keluar rumah dengan perasaan gembira. Kuhentikan sebuah andong beroda 4 yang
secara tidak sengaja melintas di depan
rumahku.
Sudah 30 menit lamanya aku menumpang
andong yang lakunya rasanya makin melambat karena perasaanku yang sudah tak
sabar melihat sahabatku, Sinta.
Beberapa menit kemudian, akhirnya
aku sampai di stasiun tempat kereta uap yang ditumpangi Sinta dari Yogyakarta
berhenti. Kulangkahkan kakiku memasuki stasiun. Derap kaki puluhan orang
meramaikan suasana stasiun siang ini. Kutengok kea rah kanan dan kiri, sibuk
mencari keberadaan Sinta.
“Nah, itu Sinta. Sin, Sin, Sinta…”
teriakku sambil mengankat tangan kananku dan melambaikannya bolak-balik searah
jarum jam berputar. Mukaku langsung sumringah melihat Sinta buru-buru
menghampiriku. Layaknya Induk burung yang pulang membawa makanan untuk
anak-anaknya di sangkar, aku dan Sinta langsung berpelukan hangat melepas
kerinduan kami yang sudah 5 tahun ini tidak bertemu.
Dengan senang hati, aku mengajak
Sinta ke rumahku menaiki andong yang tadi aku tumpangi. Di dalam andong, aku
dan Sinta terus saja mengobrol kesana kemari. Tapi, tiba-tiba aku dikejutkan
oleh suara teriakan orang-orang dari kejauhan. Andong yang semula kami
tumpangi, berhenti mendadak.
“Kenapa berhenti, Pak?” tanyaku.
Kusir andong itu tidak menjawab pertanyaanku dan malah menyuruhku turun dengan
Sinta. Aku menurut saja apa kata kusir andong itu. Setelah aku turun, andong
tadi langsung berputar arah dan melaju dengan kencang. Terpaksa Aku dan Sinta
harus berjalan kaki.
Belum lama aku berjalan, kembali
terdengar teriakan-teriakan orang kesakitan dan suara-suara ledakan senjata
yang entah berasal dari mana. Aku baru sadar bahwa hari ini merupakan hari
penolakan rakyat Surabaya yang menolak ultimatum dari Inggris yang isinya
menyuruh rakyat Surabaya suapay menyerah pada Sekutu.
“Sin, bahaya.” Kataku gugup.
“Apanya yang bahaya, San?” Tanya
Sinta mengerutkan kening.
“Di Jembatan Merah sedang ada perang.
Kita bisa mati jika kita lewat sana. Lebih baik kita menumpang dulu di rumah
penduduk sekitar sini.” Jelasku pada Sinta.
“Tenang saja, percayakan semua pada
Allah. Kita pasti akan baik-baik saja. Aku ini sudah tidak sabar ingin
kerumahmu.” Ucap Sinta berusaha meyakinkanku. Akupun mengangguk mengiyakan
ucapan Sinta. Aku dan Sinta pun terus berjalan. Perasaaan takut terus menyelimutiku
sedari tadi. Seperti ada sesuatu yang mengganjalku. Dari tempatku berjalan, aku
melihat mayat-mayat tergeletak di sepanjang jalan.
“Sin, kamu yakin ingin meneruskan
perjalanan ini? Apa tidak lebih baik kita mampir di rumah penduduk dulu?
Lihatlah mayat-mayat ini! Ini sebagai tanda kalau kita tidak diizinkan lewat
sini, Sin.” Ujarku mencoba membujuk Sinta agar mau berhenti berjalan.
“Biarlah, San.” Ucap Sinta lirih.
Suara ledakan dan senjata makin
dekat rasanya. Jantungku makin berdegup kencang. Aku dan Sinta mulai
melambatkan laju kaki kami. Aku heran dengan Sinta, mengapa dia tenang-tenang
saja mendengar suara-suara seperti ini? Tapi aku tak berani bertanya langsung
padanya.
“Dor..Dor..Dor.. Aaa.. Aaa.. Aaa..”
begitulah kiranya suara-suara yang dari tadi aku dengar.
Aku makin panik. Aku tarik Sinta
agar berputar arah dan berlari mencari rumah penduduk. Tapi Sinta melepaskan
genggaman tanganku. Sinta terus berjalan lurus ke depan mendekat ke titik rawan
perang dan aku berdiri terpaku melihat Sinta menantang nyawanya sendiri. Aku
bingung harus bagaimana. Sinta tak mau menurut padaku. Dan…
“Dor…” Suata tembakan peluru
menggelegar dengan dahsyatnya.
“Aaaaaaa….” Sinta berteriak dengan
kencangnya. Aku terperangah. Sinta? Kenapa dia? Aku buru-buru berlari ke
arahnya.
“Sintaaaaaaaaaaaaa…” teriakku
sekuat tenaga.
Kudapati Sinta terkulai lemas
tepat di tengah Jembatan Merah. Darah segar dari dadanya mengalir menganak
sungai ke luar badannya yang mungil. Air mataku turun deras dengan sendirinya.
Ku raba tangannya untuk mengetahui apakah Sinta masih hidup atau sudah
meninggal. Nihil. Denyut nadi Sinta sudah tak terasa. Sinta meninggal di tempat
kejadian. Ku elus rambutnya, ku bacakan ayat-ayat suci Al Qur’an yang aku hafal
untuk mengantarkan kematiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar