Sabtu, 11 Agustus 2012

Amira

Hari ini Mama mendapat telpon dari Paman. Paman bilang, Nenek sedang sakit dan menyuruh Mama pergi ke Semarang secepatnya. Akhirnya mendadak, Mama dan kak Tasya pergi ke Semarang untuk menjenguk Nenek yang sedang sakit. Sebenarnya aku ingin sekali ikut. Sayangnya, lusa aku masih ada ulangan matematika. Terpaksa, keinginan untuk ikut ke rumah Nenek aku pendam dalam-dalam. Beruntung, Amira sahabatku menawari aku untuk menginap dirumahnya selama Mama dan Kak Tasya di Semarang. Sontak, aku langsung mengiyakan tawaran Amira.
            Tak terasa, sudah 2 hari aku menginap di rumah Amira. Namun, malam ini ada yang berbeda dengan keluarga Amira. Saat makan malam, Tante Lusi Mama Amira, Kak Doni kakak Amira, dan Amira terlihat sangat sedih. Aku bingung. Setahuku, biasanya mereka selalu ceria. Bahkan seusai makan malam. Tante Lusi dan Kak Doni buru-buru masuk ke kamar mereka masing-masing.
            “Mir, ada apa dengan Mamamu dan Kak Doni? Apa mereka marah padaku?” tanyaku merasa bersalah.
            “Enggak, Va.” Jawab Amira singkat.
“Kalau enggak marah, terus apa, Mir?” tanyaku kebingungan.
“Gini Va, hari ini tepat satu tahunnya ayahku meninggal. Tentu saja keluargaku sedih.” Jawab Amira tertunduk sambil mengusap air mata di pipinya yang sejak tadi menetes.
            “Oh, gitu. Sudahlah Mir, jangan bersedih.” Ujarku sembari menepuk pundak kanannya. Tapi tiba-tiba saja Amira berlari ke kamarnya dan meninggalkan aku seorang diri di meja makan sembari terus menangis. Aku berusaha mengejar Amira, tapi Amira sudah terlanjur mengunci rapat pintu kamarnya.
            “Mir, buka pintunya! Kamu baik-baik aja kan, Mir?” tanyaku khawatir sembari terus mengetuk pintu kamarnya dan memanggil-manggil nama Amira. Namun tak ada sepatah kata pun yang terdengar dari dalam kamar. Yang terdengar hanya suara tangis kecil Amira dari dalam kamarnya. Suasana rumah Amira makin sunyi. Karena tak diijinkan masuk ke kamar Amira, aku pun tertidur pulas di meja makan.
            Saat tengah malam, aku terbangun dari tidurku. Aku mendengar derap suara langkah kaki seseorang yang kedengarannya sedang menangis. Aku rasa suara itu berasal dari ruang tamu. Perlahan tapi pasti, aku melangkahkan kakiku menuju ruang tamu. Kudapati sesosok bayangan hitam yang membuat bulu kudukku merinding dengan hebatnya. Karena takut, kunyalakan lampu di sudut tembok. Walaupun belum masih agak gelap, mataku terus memperhatikan bayangan itu.
            “Mir, itukah kamu? Sedang apa kamu disini?” tanyaku pelan sambil terus melangkah mendekati bayangan tadi.
            “Iya Va. Ini aku. Mendekatlah, aku sedang sedih.” Ucap Amira lirih.
            “Sedih karena ingat Ayahmu ya, Mir?” tanyaku menyelidik.
“Iya Va.” Kata Amira pelan.
“Jangan sedih lagi, Mir. Kalau kamu terus menangis seperti ini, disana ayahmu pasti juga akan sedih, Mir.” Ujarku berusaha menasehati Amira. Bukannya menjawab, Amira malah terdiam dan langsung memelukku.
            “Mir, kamu tidak apa-apa kan?” tanyaku cemas penuh harap. Beberapa saat setelah terdiam, Amira kembali berbicara.
            “Kamu benar Va. Harusnya aku tidak boleh menangis. Harusnya aku tabah dan mengikhlaskan kepergian ayahku.” Kata Amira sambil melepas pelukannya.
            “Iya Mir. Kamu harus tetap ceria seperti biasanya. Meskipun ayahmu telah tiada, tapi lihatlah Daiva sahabatmu masih disini menemanimu, Mir.” Ujarku berusaha menghibur Amira.
            “Makasih ya, Va. Kamu memang sahabat terbaikku.” Ucap Amira tersenyum.
            “Sama-sama, Mir. Sekarang kamu jangan nangis lagi ya? Aku tidak ingin air matamu menetes lagi.” Rayuku.
            “Iya Daiva.” Amira tersenyum. Sekarang, air mata Amira sudah tidak menetes lagi. Aku senang bisa menghibur sahabatku yang satu ini. Aku dan Amira pun tersenyum bahagia.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar